Senin, 04 Maret 2013

[kutipan novel] Dunia Sophie (1)



“…pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan…”(tagline Bab 1, hlm. 25)
“…apakah yang sesungguhnya menentukan penampilan kita? Bukankah aneh bahwa dia tidak mengenal siapa dirinya? Dan, bukankah tidak masuk akal bahwa dia tidak pernah diizinkan untuk ikut menentukan bagaimana penampilannya? Dia hanya sekadar ‘ditimpa’ penampilan seperti itu. Dia memang dapat memilih kawan-kawannya sendiri, tapi jelas dia tidak dapat memilih dirinya sendiri. Dia bahkan tidak memilih menjadi seorang manusia. Apakah manusia itu? ”(hlm. 30)

“Seekor kucing hidup, yang penuh energi…yang bergerak-gerak di ujung badannya yang licin. Ia juga berada di sini di taman ini, namun hampir tidak menyadarinya dengan cara seperti Sophie* memikirkannya. KetikaSophie* memikirkan hidup, dia mulai menyadari bahwa dia tidak akan hidup selamanya. Aku berada di dunia sekarang, pikirnya, tapi suatu hari aku akan pergi. Adakah kehidupan setelah kematian? Ini adalah pertanyaan lain yang sama sekali tidak pernah dipikirkan oleh si kucing.”(hlm. 30-31)
“Begitu dia berkonsentrasi pada kehidupannya sekarang, pikiran tentang kematian pun memasuki benaknya. Hal yang sama terjadi sebaliknya: hanya dengan membangkitkan perasaan mendalam bahwa suatu hari orang pasti mati, maka dia dapat menghargai betapa senangnya dia bisa hidup… Kamu tidak dapat merasakan hidup tanpa menyadari bahwa kamu nantinya harus mati, pikirnya. Namun, sama mustahilnya bagi kita untuk menyadari bahwa kita harus mati tanpa memikirkan betapa menakjubkannya hidup itu.”(hlm. 31)
“ ’Dari mana datangnya dunia? ‘…Aku tidak tahu,  pikir Sophie*. Tentunya tidak ada orang yang benar-benar tahu. Bagaimanapun, Sophie* menganggap itu sebuah pertanyaan yang wajar. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa tidak pantas hidup di dunia tanpa setidak-tidaknya mempertanyakan dari mana ia berasal.”(hlm. 32)
“ ‘Dari mana datangnya dunia? ‘…Sophie* tahu bahwa dunia itu hanyalah sebuah planet kecil di angkasa. Namun, dari mana asalnya angkasa? Mungkin saja angkasa itu selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tahu dari mana ia berasal. Tapi, mungkinkah sesuatu itu selalu ada? Jauh di lubuk hatinya, dia memprotes gagasan tersebut. Tentunya segala sesuatu yang ada itu ada permulaannya? Jadi, angkasa pasti telah diciptakan dari sesuatu yang lain. Akan tetapi, jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu juga pasti berasal dari sesuatu yang lain pula. Sophie* merasa dia hanya menyeret-nyeret permasalahan. Pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan. Namun, apakah itu mungkin? Bukankah itu sama mustahilnya dengan gagasan bahwa dunia selalu ada?”(hlm. 34)
“Dia dapat menerima bahwa Tuhan telah menciptakan angkasa, tapi bagaimana dengan Tuhan sendiri? Apakah dia menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan? Lagi-lagi ada sesuatu jauh di lubuk hatinya yang memprotes. Meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, tidak mungkin dia dapat menciptakan dirinya sendiri sebelum dia mempunyai ‘diri’. Maka hanya tinggal satu kemungkinan: Tuhan selalu ada. Tapi dia telah menolak kemungkinan itu! Segala sesuatu yang ada harus ada permulaannya.”(hlm. 35)
“Mereka (para filosof) yakin bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti semata. Sudah pasti setiap orang membutuhkan makanan. Dan, setiap orang membutuhkan cinta dan perhatian. Namun ada sesuatu yang lain – lepas dari semua itu – yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita di sini.”(hlm. 41)
“Kamu tidak akan tahu apakah ada Tuhan atau apakah ada kehidupan setelah kematian dengan mencarinya di buku ensiklopedi. Buku ensiklopedi juga tidak memberi tahu kita bagaimana sebaiknya kita hidup. Namun, membaca apa yang telah diyakini orang lain dapat membantu kita untuk merumuskan sudut pandang kehidupan kita sendiri.”(hlm. 42-43)
“Kita tahu bahwa dunia bukanlah hasil sulapan tangan dari tipuan, sebab kita berada di sini di dalamnya, kita merupakan bagian darinya. Sesungguhnya kita adalah kelinci putih yang ditarik keluar  dari topi (seorang pesulap). Satu-satunya perbedaan antara kita dan kelinci putih itu adalah bahwa kelinci tidak menyadari dirinya ikut ambil bagian dari suatu tipuan sulap. Tidak seperti kita. Kita merasa kita adalah bagian dari sesuatu yang misterius dan kita ingin tahu bagaimana cara kerjanya.”(hlm. 44)
“Dunia itu sendiri dengan serta-merta menjadi suatu kebiasaan. Tampaknya seakan-akan dalam proses pertumbuhan kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Dan dengan berlaku demikian, kita kehilangan sesuatu yang sangat penting – sesuatu yang oleh para filosof diusahakan untuk dipulihkan. Sebab di suatu tempat dalam diri kita sendiri, ada sesuatu yang mengatakan kepada kita bahwa kehidupan merupakan suatu misteri yang sangat besar. Inilah sesuatu yang pernah kita alami, jauh sebelum kita belajar untuk memikirkan pemikiran itu.”(hlm. 49)
“Orang-orang dewasa menganggap dunia sebagaimana adanya. Mereka telah membiarkan diri terbuai dalam tidur yang memabukkan dari eksistensi mereka yang membosankan.”(hlm. 52)
“Manusia tidak dapat hanya duduk termangu dan menunggu para dewa turun tangan, sementara bencana seperti kekeringan atau wabah melanda. Mereka harus bertindak sendiri dalam perjuangan melawan kejahatan. Ini mereka lakukan dengan menjalankan berbagai upacara agama atau ritus.”(hlm. 57)
“Dia tahu bahwa orang-orang selalu ingin menjelaskan proses alam. Barangkali mereka tidak dapat hidup tanpa penjelasan-penjelasan (mengenai fenomena alam) semacam itu. Dan bahwa mereka menciptakan berbagai mitos dan masa sebelum ada sesuatu yang dinamakan sains.”(hlm. 64)
“ ‘Adakah zat dasar yang menjadi bahan untuk membuat segala sesuatu? Dapatkah air berubah jadi anggur? Bagaimana tanah dan air dapat menghasilkan seekor katak hidup ?‘ ”(hlm. 66)
Parmenides (filosof dari Elea) sadar bahwa alam selalu berubah terus-menerus. Dia merasakan dengan indra-indranya bahwa segala sesuatu berubah. Namun, dia tidak dapat menyelaraskan ini dengan apa yang dikatakan oleh akalnya. Jika dipaksa memilih…dia memilih akal. Kamu kenal ungkapan ‘Aku baru percaya kalau sudah melihatnya’. Tapi,Parmenides bahkan tidak memercayai segala sesuatu sekalipun dia melihatnya. Dia yakin bahwa indra-indra kita memberikan gambaran yang tidak tepat tentang dunia, suatu gambaran yang tidak sesuai dengan akal kita…,dia beranggapan bahwa tugasnyalah mengungkapkan segala bentuk ilusi perseptual.”(hlm. 73)
Empedocles (filosof dari Sisilia) yakin bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam. Dia menyebutnya ‘cinta’ dan ‘perselisihan’. Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. Dia membedakan antara ‘zat’ dan ‘kekuatan’.”(hlm. 78)
“Sesuatu dari segala sesuatu dalam segala sesuatu”(hlm. 79)
“Jika aku melepaskan sel kulit jariku, nukleus itu akan mengandung tidak hanya ciri-ciri kulitku: sel yang sama juga akan mengungkapkan jenis mata apa yang kumiliki, warna kulitku, jumlah dan jenis jari-jariku, dan sebagainya. Setiap sel tubuh manusia membawa cetak-biru dari cara tersusunnya sel-sel lain. Maka, ada ‘sesuatu dari segala sesuatu’ dalam setiap sel. Keseluruhan itu ada dalam masing-masing bagiannya yang sangat kecil.”(hlm. 80)
“Akalnya tidak mau menerima bahwa ‘sesuatu’ dapat dengan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ‘sesuatu yang sama sekali berbeda’. Pasti dibutuhkan keberanian untuk maju dan mengemukakannya, sebab itu berarti menyangkal seluruh perubahan yang dapat dilihat sendiri oleh setiap orang.”(hlm. 82)
“Dia memutuskan bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang dapat kita pelajari; namun, barangkali kita dapat belajar untuk berpikir secara filosofis.”(hlm. 83)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar